BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abu adalah zat anorganik sisa pembakaran dari senyawa organik (
Sudarmadji, 1998). Dalam bahan pangan, selain abu terdapat pula komponen lain
yaitu mineral. Walaupun jumlahnya sangat sedikit namun keberadaan mineral bahan
pangan sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Di dalam tubuh mineral berfungsi
sebagai zat pembangun dan pengantur . Mineral tertentu bahkan sangat dbutuhkan
sebagai penyusun tulang , gigi,jaringan lunak, otot, darah, dan sel syaraf, dan
sebagian lainnya dibutuhkan dalam pengaturan metabolism tubuh.
Tubuh manusia memerlukan berbagai jenis mineral dalam jumlah yang
berbeda oleh karena itu dikenal istilah mineral makro dan mineral mikro.
Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan dalam jumlah besar (100 mg/hari
untuk orang dewasa) seperti natrium, klor, kalsium, fosfor , magnesium dan
belerang. Sedangkan mineral yang dibutuhkan dalam jumlah kecil adalah mineral mineral
mikro atau trace element seperti besi, iodum, mangan, tembaga, zink,
kobalt, dan flour.
Kebutuhan mineral bagi tubuh baik mineral makro maupun mineral mikro
dapat dipenuhi dengan mengonsumsi makanan sumber mineral seperti susu, daging
sapi, telur, ikan serealia, sayuran dan lain lain. Berbagai bahan panagan
tersebut mengandung mineral dengan jenis dan jumlah yang berbeda. Sebagai
contoh sus adalah sumber kalosium dan fosfor yang penting sedangkan daging
adalah sumber zat besi yang baik.
Mengingat beragamnya sumber mineral yang ada, analisis abu sangat
penting dilakukan untuk mengetahui kualitas gizi, analisis abu dan mineral
sering digunakan sebagai indikator mutu pangan lain. Dari analisis abu dan
mineral dapat diketahui tingkat kemurnian produk tepung dan gula, adanya
pemalsuan pada produk selai buah, sari buah dan cuka, tingkat kebersihan
pengolahan suatu bahan, terjadi kontaminasi mineral yang bersifat toksik, dan
dasar pengolahan yang pada beberapa bahan pangan dipengaruhi oleh keberadaan
mineral.
Ada bebrbagai macam metode untuk menganalisis kadar abu dalam bahan
makanan. Diantaranya adalah metode gravimetric yang digunakan pada praktikum
kali ini. Penetapan kadar abu metode gravimetric kali ini menggunakan bahan
pangan tepung bubur sebagai bahan yang akan dianalisanya. Metode gravimetri
merupakan salah satu metode analisis kuantitatif suatu zat atau komponen yang
telah diketahui dengan cara mengukur berat komponen dalam keadaan murni setelah
melalui proses pemisahan. Analisis gravimetri adalah proses isolasi dan
pengukuran berat suatu unsur atau senyawa tertentu. Metode gravimetri memakan
waktu yang cukup lama, adanya pengotor pada konstituen dapat diuji dan bila
perlu faktor-faktor koreksi dapat digunakan (Kusnandar, 2011). Oleh karena
itulah diadakannya praktikum kali ini sangatlah penting agar kita dapat
mengetahui cara cara penganalisaan kadar abu yang sesuai dengan prosedurnya.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Bagaimana cara
menentukan kadar abu dalam bahan makanan ?
b.
Berapa kadar air
yang terdapat di dalam ikan, ayam, dan roti ?
1.3 Tujuan Penulisan
a.
Untuk mengetahui
proses penentuan kadar air
b.
Untuk mengetahui
kadar air yang terdapat dalam ikan, ayam, dan roti
1.4 Manfaat Penulisan
a.
Memberikan pengetahuan tentang proses penetapan kadar abu
b.
Memberikan gambaran umum tentang
kadar abu yang terdapat di dalam ikan, ayam, dan
roti.
BAB II
KAJIAN TEORI
Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari
bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. (Winarno,
1992). Abu merupakan residu anorganik yang didapat dengan cara mengabukan
komponen-komponen organik dalam bahan pangan. Jumlah dan komposisi abu dalam
mineral tergantung pada jenis bahan pangan serta metode analisis yang
digunakan. Abu dan mineral dalam bahan pangan umumnya berasal dari bahan pangan
itu sendiri (indigenous). Tetapi ada beberapa mineral yang ditambahkan
ke dalam bahan pangan, secara disengaja maupun tidak disengaja. Abu dalam bahan
pangan dibedakan menjadi abu total, abu terlarut dan abu tak larut.
(Puspitasari, et.al, 1991).
Analisis gravimetrik merupakan bagian analisis kuantitatif
untuk menentukan jumlah zat berdasarkan pada penimbangan dari hasil reaksi
setelah bahan/analit yang dihasilkan diperlakukan terhadap pereaksi tertentu.
(Widodo, 2010).
Kadar abu suatu bahan ditetapkan pula secara gravimetri. Penentuan kadar
abu merupakan cara pendugaan kandungan mineral bahan pangan secara kasar. Bobot abu yang diperoleh sebagai
perbedaan bobot cawan berisi abu dan cawan kosong. Apabila suatu sampel
di dalam cawan abu porselen dipanaskan pada suhu tinggi sekitar 650°C akan
menjadi abu berwarna putih. Ternyata di dalam abu tersebut dijumpai garam-garam atau
oksida-oksida dari K, P, Na, Mg, Ca, Fe, Mn, dan Cu, disamping itu terdapat
dalam kadar yang sangat kecil seperti Al, Ba, Sr, Pb, Li, Ag, Ti, As, dan
lain-lain. Besarnya kadar abu dalam daging ikan umumnya berkisar antara 1
hingga 1,5 %. (Yunizal,
et.al, 1998).
Kadar abu/mineral merupakan bagian berat mineral dari bahan
yang didasarkan atas berat keringnya. Abu yaitu zat organik yang tidak menguap,
sisa dari proses pembakaran atau hasil oksidasi. Penentuan kadar abu ada
hubungannya dengan mineral suatu bahan.
Mineral
yang terdapat dalam pangan terdiri dari 2 jenis garam, yaitu :
1. Garam-garam organik, misalnya garam
dari as. malat, oxalate, asetat, pektat dan lain-lain
2. Garam-garam anorganik, misalnya
phospat, carbonat, chloride, sulfat nitrat dan logam alkali. (Anonim, 2011)
Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat
terbentuk sebagai senyawa yang kompleks yang bersifat organis. Apabila akan
ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya adalah sangat sulit.
Menurut Winarno (1991), kadar abu yang yang terukur merupakan
bahan-bahan anorganik yang tidak terbakar dalam proses pengabuan, sedangkan
bahan-bahan organik terbakar.
Untuk menentukan kandungan mineral pada bahan makanan, bahan
harus dihancurkan/didestruksi terlebih dahulu. Cara yang biasa dilakukan yaitu
pengabuan kering (dry washing) atau pengabuan langsung dan
pengabuan basah (wet digestion). Pemilihan cara tersebut tergantung pada
sifat zat organik dalam bahan, sifat zat anorganik yang ada di dalam bahan,
mineral yang akan dianalisa serta sensitivitas cara yang digunakan.
(Apriyantono, et.al, 1989).
Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan
mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500 – 600 oC
dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses
pembakaran tersebut. (Sudarmadji, 1996).
Pengabuan
dilakukan melalui 2 tahap yaitu :
1. Pemanasan pada suhu 300oC
yang dilakukan dengan maksud untuk dapat melindungi kandungan bahan yang
bersifat volatil dan bahan berlemak hingga kandungan asam hilang. Pemanasan
dilakukan sampai asap habis.
2. Pemanasan pada suhu 800oC
yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan maupun porselin tidak secara
tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah pecah pada perubahan suhu yang
tiba-tiba.
Pengabuan kering dapat diterapkan pada hampir semua analisa
mineral, kecuali mercuri dan arsen. Pengabuan kering dapat dilakukan untuk
menganalisa kandungan Ca, P, dan Fe akan tetapi kehilangan K dapat terjadi
apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi
juga akan menyebabkan beberapa mineral menjadi tidak larut. Beberapa kelemahan
maupun kelebihan yang terdapat pada pengabuan dengan cara lansung.
Kelebihan
dari cara langsung, antara lain :
1. Digunakan untuk penentuan kadar abu
total bahan makanan dan bahan hasil pertanian, serta digunakan untuk sample
yang relatif banyak,
2. Digunakan untuk menganalisa abu yang
larut dan tidak larut dalam air, serta abu yang tidak larut dalam asam,
dan
3. Tanpa menggunakan regensia sehingga
biaya lebih murah dan tidak menimbulkan resiko akibat penggunaan reagen yang
berbahaya.
Sedangkan
kelemahan dari cara langsung, antara lain :
1. Membutuhkan waktu yang lebih lama,
2. Tanpa penambahan regensia,
3. Memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan
4. Adanya kemungkinan kehilangan air
karena pemakaian suhu tinggi (Apriantono, 1989).
Prinsip dari pengabuan cara tidak langsung yaitu memberikan
reagen kimia tertentu kedalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang
biasa ditambahkan adalah gliserol alkohol ataupun pasir bebas anorganik
selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu tinggi. Pemanasan mengakibatkan
gliserol alkohol membentuk kerak sehingga menyebabkan terjadinya porositas
bahan menjadi besar dan dapat mempercepat oksidasi.
Sedangkan pada pemanasan untuk pasir bebas dapat membuat
permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan me mperbesar porositas, sehingga mempercepat
proses pengabuan. (Sudarmadji, 1996). Beberapa kelebihan dan kelemahan yang
terdapat pada pengabuan cara tidak langsung.
Kelebihan
dari cara tidak langsung, meliputi :
1. Waktu yang diperlukan relatif
singkat,
2. Suhu yang digunakan relatif rendah,
3. Resiko kehilangan air akibat suhu
yang digunakan relatif rendah,
4. Dengan penambahan gliserol alkohol
dapat mempercepat pengabuan, dan
5. Penetuan kadar abu lebih baik.
Sedangkan
kelemahan yang terdapat pada cara tidak langsung, meliputi :
1. Hanya dapat digunakan untuk trace
elemen dan logam beracun,
2. Memerlukan regensia yang kadangkala
berbahaya, dan
3. Memerlukan koreksi terhadap regensia
yang digunakan. (Apriantono, 1989).
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai
tujuan, yaitu :
1. Menentukan baik tidaknya suatu
pengolahan.
Dalam penggilingan gandum, misalnya
apabila masih banyak katul atau lembaga yang terikut maka tepung gandum
tersebut akan memiliki kadar abu yang tinggi.
2. Mengetahui jenis bahan yang
digunakan
Penentuan kadar abu dapat digunakan
untuk memperkirakan kandungan buah yang digunakan dalam marmalade atau jelly.
Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan fruit vinegar
(asli) atau sintesis.
3. Penentuan parameter nilai gizi pada
bahan makanan
0 komentar:
Posting Komentar